Monday, January 16, 2012

Peksos penolong diri sendiri dan juga orang lain. by Hery

assalamualaikum
harus diakui menjadi suatu kebanggan dan penghormatan bagi penulis dapat mencantumkan tulisan Bapak Hery Wibowo. sebagai seorang akedemisi (Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial) dan praktisi pekerja sosial.  beliau memang sering menuangkan opini dan ide-ide creativesnya pada suatu tulisan. pada kesempatan ini,  penulis berkesempatan menaruh tulisan beliau di blog penulis.


sebenarnya tulisan bapak Hery Wibowo telah dimuat di InilahKoran edisi Minggu 8 Januari.  penulis sendiri tidak memilki motivasi khusus mengapa mengutip/menaruh  tulisan beliau di blog penulis, hanya saja, penulis rasa tulisan yang di buat beliau sangat informatif dan bermanfaat. tentunya,  tulisan yang baik ini haruslah di publishkan secara luas. agar nantinya tulisan ini dapat bermanfaat bagi orang banyak.ha ha

dan tidak perlu berlam-lama dibawah ini adalah tulisan beliau:

Komunikasi Apresiatif
Tanpa terasa, saat ini kita sudah memasuki tahun 2012. Tanpa terasa pula 360an hari telah berlalu dari januari 2011.Sungguh, perjalanan waktu sering berjalan tanpa disadari. Rasanya baru bangun pagi tahu-tahu sudah sore. Rasanya baru hari Senin, tahu-tahu sudah Sabtu dan seterusnya.

Awal tahun, awal periode atau awal musim, seringkali dijadikan sebagai titik berangkat untuk sesuatu yang baru. Pada saat-saat inilah biasanya individu mulai mengevaluasi hasil kerjanya di periode lalu dan merencanakan aktivitas untuk periode berikutnya. Bagi beberapa orang momen pergantian waktu adalah saat-saat yang mendebarkan, karena akan menentukan pola aktivitasnya, apakah akan berlanjut atau tidak. Bagi para pimpinan, momen ini juga merupakan hal yang cukup menantang, karena mereka harus membuat keputusan terkait kinerja yang telah dicapai, apakah akan melanjutkan, menghentikan, menambah, mengurangi dan sebagainya.

Anyway, secara umum, inilah saat dimana setiap kita perlu melakukan kontenplasi dan introspeksi terkait tingkah laku dan kinerja kita sendiri, karena kita akan melanjutkan perjalanan kehidupan kita. Namun demikian, satu hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa pergantian waktu tidak harus diidentikkan dengan pergantian tahun. Seyogianya, momen pergantian hari juga merupakan saat yang tepat untuk melakukan introspeksi, yaitu 'apakah hari ini kita sudah lebih baik dari hari kemarin, atau sebaliknya lebih buruk'. Maka, biasanya inilah momen-momen yang penuh kegembiraan dan harapan. Inilah saat-saat dimana hari-hari kita penuh dengan motivasi, penuh dengan imajinasi akan kesuksesan yang dibayangkan akan diraih, dan penuh dengan asa untuk keberhasilan yang lebih besar.

Sayangnya, selain beberapa kondisi dimuka, terdapat hal-hal yang berpotensi membuat momen pergantian waktu menjadi saat-saat yang tidak menyenangkan. Karena sering kali momen ini dijadika momen untuk
1. Mencari kambing hitam atas kebelumtercapaian target
2. Mencari pihak yang paling disalahkan atas kebelumserpunaan pencapaian yang ditargetkan
3. Menebar teror kepada semua pihak terkait kebelumberhasilan aktivitas yang ditentukan sebelumnya.

Oleh karena itu, tidak semua pihak merasa gembira dan ceria menyambut momen pergantian waktu. Maka, agar momen pergantian waktu tidak menjadi hal yang menyeramkan dan menimbulkan kecemasan, perlu dipikirkan strategi baru yang memungkinkan kita dapat mengapresi hasil yang telah dicapai, alih-alih sekedar  mencari kesalahan. Perlu diusahakan mendapatkan cara baru yang memungkinkan kita untuk mengukur pencapaian yang telah didapat, alih-alih sekedar mencari kekurangan dan kelemahan.

Berpikir Apresiatif
Berdasarkan uraian dimuka, maka diperlukan perubahan pola pikir untuk membuat suasana jauh lebih ceria dan jauh lebih memotivasi. Diana Withney dan Amanda Trosten dalam buku Apreciative Inquiry mengajarkan kita sesuatu yang menarik, yatiu tentang berpikir apresiatif. Berpikir apresiatif menurut mereka bukan berarti menafikkan apa yang negatif.. Bukan membutakan diri terhadap kelemahan. Bukan tidak mengakui kekurangan. Setiap orang pasti pernah salah. Bahkan setiap Negara pasti pernah mengalami kegagalan. Maka berpikir apresiatif adalah upaya menghargai apa yang ada pada diri kita, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui. Melalui berpikir apresiatif kita diajak untuk lebih fokus pada apa yang terbaik dari manusia dan sistem manusia, dan apa yang memberi nafas pada kehidupan.

Komunikasi Apresiatif
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara kita berpikir apresiatif? Bagaimana cara kita mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari? Salah satunya adalah dengan mulai mengubah cara kita berkomunikasi, tanpa kita sadari cara kita berkomunikasi mencerminkan bagaimana kita berpikir terhadap sesuatu. Sebagai contoh, ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak kita senangi atau tidak diharapkan, kita cenderung untuk langsung mencari kesalahan atau berusaha menemukan biang-keroknya.

Selanjutnya bahasa atau pernyataan yang muncul, cenderung diawali oleh kata 'why' (mengapa) seperti contoh-contoh berikut ini:
1.  "Mengapa target tahun ini tidak tercapai?
2.  "Mengapa masih banyak pekerjaan yang belum selesai?"
3. "Mengapa ruangan ini selalu berantakan?"
4. "Mengapa setiap saya menggunakan telepon, pasti sedang digunakan?"
5. "Mengapa pencapaian kita tahun ini jauh dibawah tahun lalu?"
6. "Mengapa masih banyak yang melakukan kesalahan, padahal kita sudah sering sekali membahas masalah ini?"

Jika kita perhatikan, ada beberapa hal yang muncul ketika pertanyaan 'why' dikemukan:
1. Cenderung berorientasi masa lalu
2. Cenderung mencari siapa/dimana sumber kesalahan (kambing hitam).
3. Cenderung tidak menghargai hasil yang telah dicapai,
Maka, secara umum dapat dikatakan bahwa pertanyaan 'why' cenderung kurang membuat semangat dan bahkan dapat menurunkan antusiasme.

Appreciative thinking, mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal yang telah dicapai. Berpikir apresiatif, juga mengajak kita untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak terlalu memusingkan hal-hal yang belum dalam genggaman. Oleh karena itu, praktik berpikir apresiatif yang dapat kita lakukan salah satunya adalah dengan mengganti pertanyaan 'why' tersebut dengan pertanyaan 'what', seperti:
1. "Baik, kita sudah tau kondisi kita, lalu apa lagi ya, yang bisa ditingkatkan?
2. "Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk memperbaiki yang ada, apa alternatif lainnya?"
3. "Apa ada usulan solusi lain? "
4. "Apa ada yang punya pendapat untuk meningkatkan hasil yang telah kita raih?" dll

Berdasarkan beberapa contoh pertanyaan dimuka, tampak bahwa pertanyaan 'what' cenderung:
1.  Fokus ke masa depan (tidak terlalu mempermasalahkan masa lalu)
2. Tidak menyalahkan atas apa yang belum dicapai
3. Mencari solusi dari kondisi yang ada

Tentunya, pergantian jenis pertanyaan dimuka cenderung kontekstual dan kondisional. Namun demikian, pada sebagian besar situasi, kita dapat mulai berpikir untuk memilih pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan efek psikologis yang tepat.

Pertanyaan 'what' dalam hal ini, cenderung berfokus pada solusi dan berorientasi pada masa depan, sehingga dapat mendorong antusiasme. Walaupun tidak mengubah masalah, namun paling tidak dapat mendorong cara pandang baru terhadap bagaimana kita melihat masalah.

Akhir kata, kepada seluruh keluarga besar PEKSOS, semoga dapat mencapai harapan yang dicita-citakan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan keluh kesah, dan terlalu berharga untuk diisi dengan pikiran negatif. Maka, mari menjadi pribadi yang lebih baik dengan selalu berpikir bahwa kita tidak mungkin mendapatkan seluruh yang kita inginkan, namun demikian, kita selalu punya pilihan untuk mensyukuri seluruh hal yang telah kita dapatkan. Amiin.

berikut ada tulisan  yang telah dimuat di InilahKoran edisi Minggu 8 Januari, BY HERY WIBOWO (DOSEN ILMU KESEJAHTERAAN UNPAD

1 comment: