assalamualaikum
harus diakui menjadi suatu kebanggan dan penghormatan bagi penulis dapat mencantumkan tulisan Bapak Hery Wibowo. sebagai seorang akedemisi (Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial) dan praktisi pekerja sosial. beliau memang sering menuangkan opini dan ide-ide creativesnya pada suatu tulisan. pada kesempatan ini, penulis berkesempatan menaruh tulisan beliau di blog penulis.
harus diakui menjadi suatu kebanggan dan penghormatan bagi penulis dapat mencantumkan tulisan Bapak Hery Wibowo. sebagai seorang akedemisi (Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial) dan praktisi pekerja sosial. beliau memang sering menuangkan opini dan ide-ide creativesnya pada suatu tulisan. pada kesempatan ini, penulis berkesempatan menaruh tulisan beliau di blog penulis.
sebenarnya tulisan bapak Hery Wibowo telah dimuat di
InilahKoran edisi Minggu 8 Januari. penulis sendiri tidak memilki motivasi
khusus mengapa mengutip/menaruh tulisan beliau di blog penulis, hanya saja,
penulis rasa tulisan yang di buat beliau sangat informatif dan bermanfaat.
tentunya, tulisan yang baik ini haruslah di publishkan secara luas. agar
nantinya tulisan ini dapat bermanfaat bagi orang banyak.ha ha
dan tidak perlu berlam-lama dibawah ini adalah tulisan
beliau:
Komunikasi Apresiatif
Tanpa terasa, saat ini kita sudah memasuki
tahun 2012. Tanpa terasa pula 360an hari telah berlalu dari januari
2011.Sungguh, perjalanan waktu sering berjalan tanpa disadari. Rasanya baru
bangun pagi tahu-tahu sudah sore. Rasanya baru hari Senin, tahu-tahu sudah Sabtu
dan seterusnya.
Awal tahun, awal periode atau awal musim, seringkali
dijadikan sebagai titik berangkat untuk sesuatu yang baru. Pada saat-saat inilah
biasanya individu mulai mengevaluasi hasil kerjanya di periode lalu dan
merencanakan aktivitas untuk periode berikutnya. Bagi beberapa orang momen
pergantian waktu adalah saat-saat yang mendebarkan, karena akan menentukan pola
aktivitasnya, apakah akan berlanjut atau tidak. Bagi para pimpinan, momen ini
juga merupakan hal yang cukup menantang, karena mereka harus membuat keputusan
terkait kinerja yang telah dicapai, apakah akan melanjutkan, menghentikan,
menambah, mengurangi dan sebagainya.
Anyway, secara umum, inilah saat dimana setiap kita
perlu melakukan kontenplasi dan introspeksi terkait tingkah laku dan kinerja
kita sendiri, karena kita akan melanjutkan perjalanan kehidupan kita. Namun
demikian, satu hal yang perlu disadari bersama adalah bahwa pergantian waktu
tidak harus diidentikkan dengan pergantian tahun. Seyogianya, momen pergantian
hari juga merupakan saat yang tepat untuk melakukan introspeksi, yaitu 'apakah
hari ini kita sudah lebih baik dari hari kemarin, atau sebaliknya lebih buruk'.
Maka, biasanya inilah momen-momen yang penuh kegembiraan dan harapan. Inilah
saat-saat dimana hari-hari kita penuh dengan motivasi, penuh dengan imajinasi
akan kesuksesan yang dibayangkan akan diraih, dan penuh dengan asa untuk
keberhasilan yang lebih besar.
Sayangnya, selain beberapa kondisi dimuka, terdapat
hal-hal yang berpotensi membuat momen pergantian waktu menjadi saat-saat yang
tidak menyenangkan. Karena sering kali momen ini dijadika momen untuk
1. Mencari kambing hitam atas kebelumtercapaian target
2. Mencari pihak yang paling disalahkan atas kebelumserpunaan pencapaian yang ditargetkan
3. Menebar teror kepada semua pihak terkait kebelumberhasilan aktivitas yang ditentukan sebelumnya.
1. Mencari kambing hitam atas kebelumtercapaian target
2. Mencari pihak yang paling disalahkan atas kebelumserpunaan pencapaian yang ditargetkan
3. Menebar teror kepada semua pihak terkait kebelumberhasilan aktivitas yang ditentukan sebelumnya.
Oleh karena itu, tidak semua pihak merasa gembira dan
ceria menyambut momen pergantian waktu. Maka, agar momen pergantian waktu tidak
menjadi hal yang menyeramkan dan menimbulkan kecemasan, perlu dipikirkan
strategi baru yang memungkinkan kita dapat mengapresi hasil yang telah dicapai,
alih-alih sekedar mencari kesalahan. Perlu diusahakan mendapatkan cara baru
yang memungkinkan kita untuk mengukur pencapaian yang telah didapat, alih-alih
sekedar mencari kekurangan dan kelemahan.
Berpikir Apresiatif
Berdasarkan
uraian dimuka, maka diperlukan perubahan pola pikir untuk membuat suasana jauh
lebih ceria dan jauh lebih memotivasi. Diana Withney dan Amanda Trosten dalam
buku Apreciative Inquiry mengajarkan kita sesuatu yang menarik, yatiu tentang
berpikir apresiatif. Berpikir apresiatif menurut mereka bukan berarti menafikkan
apa yang negatif.. Bukan membutakan diri terhadap kelemahan. Bukan tidak
mengakui kekurangan. Setiap orang pasti pernah salah. Bahkan setiap Negara pasti
pernah mengalami kegagalan. Maka berpikir apresiatif adalah upaya menghargai apa
yang ada pada diri kita, mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita lalui.
Melalui berpikir apresiatif kita diajak untuk lebih fokus pada apa yang terbaik
dari manusia dan sistem manusia, dan apa yang memberi nafas pada kehidupan.
Komunikasi Apresiatif
Pertanyaan selanjutnya adalah,
bagaimana cara kita berpikir apresiatif? Bagaimana cara kita mempraktikannya
dalam kehidupan sehari-hari? Salah satunya adalah dengan mulai mengubah cara
kita berkomunikasi, tanpa kita sadari cara kita berkomunikasi mencerminkan
bagaimana kita berpikir terhadap sesuatu. Sebagai contoh, ketika kita dihadapkan
pada sesuatu yang tidak kita senangi atau tidak diharapkan, kita cenderung untuk
langsung mencari kesalahan atau berusaha menemukan biang-keroknya.Selanjutnya bahasa atau pernyataan yang muncul, cenderung diawali oleh kata 'why' (mengapa) seperti contoh-contoh berikut ini:
1. "Mengapa target tahun ini tidak tercapai?
2. "Mengapa masih banyak pekerjaan yang belum selesai?"
3. "Mengapa ruangan ini selalu berantakan?"
4. "Mengapa setiap saya menggunakan telepon, pasti sedang digunakan?"
5. "Mengapa pencapaian kita tahun ini jauh dibawah tahun lalu?"
6. "Mengapa masih banyak yang melakukan kesalahan, padahal kita sudah sering sekali membahas masalah ini?"
Jika kita perhatikan, ada beberapa hal yang muncul
ketika pertanyaan 'why' dikemukan:
1. Cenderung berorientasi masa lalu
2. Cenderung mencari siapa/dimana sumber kesalahan (kambing hitam).
3. Cenderung tidak menghargai hasil yang telah dicapai,
Maka, secara umum dapat dikatakan bahwa pertanyaan 'why' cenderung kurang membuat semangat dan bahkan dapat menurunkan antusiasme.
1. Cenderung berorientasi masa lalu
2. Cenderung mencari siapa/dimana sumber kesalahan (kambing hitam).
3. Cenderung tidak menghargai hasil yang telah dicapai,
Maka, secara umum dapat dikatakan bahwa pertanyaan 'why' cenderung kurang membuat semangat dan bahkan dapat menurunkan antusiasme.
Appreciative thinking, mengajarkan kita untuk menghargai
hal-hal yang telah dicapai. Berpikir apresiatif, juga mengajak kita untuk
mensyukuri apa yang telah kita miliki dan tidak terlalu memusingkan hal-hal yang
belum dalam genggaman. Oleh karena itu, praktik berpikir apresiatif yang dapat
kita lakukan salah satunya adalah dengan mengganti pertanyaan 'why' tersebut
dengan pertanyaan 'what', seperti:
1. "Baik, kita sudah tau kondisi kita, lalu apa lagi ya, yang bisa ditingkatkan?
2. "Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk memperbaiki yang ada, apa alternatif lainnya?"
3. "Apa ada usulan solusi lain? "
4. "Apa ada yang punya pendapat untuk meningkatkan hasil yang telah kita raih?" dll
1. "Baik, kita sudah tau kondisi kita, lalu apa lagi ya, yang bisa ditingkatkan?
2. "Apa yang sebaiknya kita lakukan untuk memperbaiki yang ada, apa alternatif lainnya?"
3. "Apa ada usulan solusi lain? "
4. "Apa ada yang punya pendapat untuk meningkatkan hasil yang telah kita raih?" dll
Berdasarkan beberapa contoh pertanyaan dimuka, tampak
bahwa pertanyaan 'what' cenderung:
1. Fokus ke masa depan (tidak terlalu mempermasalahkan masa lalu)
2. Tidak menyalahkan atas apa yang belum dicapai
3. Mencari solusi dari kondisi yang ada
Tentunya, pergantian jenis pertanyaan dimuka cenderung kontekstual dan kondisional. Namun demikian, pada sebagian besar situasi, kita dapat mulai berpikir untuk memilih pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan efek psikologis yang tepat.
1. Fokus ke masa depan (tidak terlalu mempermasalahkan masa lalu)
2. Tidak menyalahkan atas apa yang belum dicapai
3. Mencari solusi dari kondisi yang ada
Tentunya, pergantian jenis pertanyaan dimuka cenderung kontekstual dan kondisional. Namun demikian, pada sebagian besar situasi, kita dapat mulai berpikir untuk memilih pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan efek psikologis yang tepat.
Pertanyaan 'what' dalam hal ini, cenderung berfokus pada
solusi dan berorientasi pada masa depan, sehingga dapat mendorong antusiasme.
Walaupun tidak mengubah masalah, namun paling tidak dapat mendorong cara pandang
baru terhadap bagaimana kita melihat masalah.
Akhir kata, kepada seluruh keluarga besar PEKSOS, semoga
dapat mencapai harapan yang dicita-citakan. Hidup terlalu singkat untuk diisi
dengan keluh kesah, dan terlalu berharga untuk diisi dengan pikiran negatif.
Maka, mari menjadi pribadi yang lebih baik dengan selalu berpikir bahwa kita
tidak mungkin mendapatkan seluruh yang kita inginkan, namun demikian, kita
selalu punya pilihan untuk mensyukuri seluruh hal yang telah kita dapatkan.
Amiin.
berikut ada tulisan yang telah dimuat di InilahKoran
edisi Minggu 8 Januari, BY HERY WIBOWO (DOSEN ILMU KESEJAHTERAAN UNPAD
terima kasih telah di post
ReplyDelete