assalamualaikum
articel merupakan ringkasan articel yang diambil dari sebuah makalah, dan makalah tersebut tujuannya ditunjukan sebagai bahan referensi materi seminar yang bertemakan difabel. para penulisnya adalah Arrinda Almadea, Rindu Adzani T, Dimas Fattah, Zulfahmi Mulya, Dwi Astri M.P,
FerdianaSandi, Anis Wardatul Jannah, Dhita Miranda, Eti Suryawati, Abil
Vareszah. tiada motivasi khusus melatarbelakangi mempublish articel ini, hanya mencoba berbagai referensi kepada setiap orang yang concern kepada kaum difabel. semoga bermanfaat.
Dalam dunia internasional, istilah disability mengalami
perubahan, antara lain: cripple, handicapped, impairement, yang kemudian lebih
sering digunakan istilah people with disability atau disabled people. People
with disability kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi penyandang
cacat yang pada awalnya menggunakan istilah penderita cacat.
Istilah penderita cacat sangat berkesan diskriminatif
karena memandang seseorang memiliki salah satu jenis penyakit atau lebih yang
mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Perubahan penggunaan istilah penderita
cacat menjadi penyandang cacat mulai dikenalkan pada penetapan UU no. 4 th.
1997, yang menempatkan posisi penyandang cacat dengan cenderung menghaluskan
istilah tersebut.
Istilah ini pada dasarnya masih digunakan secara luas di
berbagai publikasi ataupun media massa, tetapi berbagai aktivis sosial
berpendapat bahwa penggunaan istilah ini memiliki arti sempit yang masih tetap
menempatkan seseorang dalam posisi yang tidak 'normal' dan tidak mampu karena
kondisi kecacatan yang dimilikinya. Hingga akhirnya pada tahun 1997, penggunaan
istilah difabel mulai dikenalkan kepada masyarakat secara luas.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki keramah
tamahan yang tinggi, seharusnya juga ramah terhadap perbedaan yang ada,
khususnya terhadap kaum difabel. Istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari
kependekan istilah different abilities people (orang dengan kemampuan yang
berbeda).
Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk
merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau
tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap
difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.
Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak
lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan
ketidakmampuan.Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya,
juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.
Sebenarnya kaum difabel dapat mandiri dan berprestasi
jika pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat mendukung. Sehingga semua jaminan
atas akses fasilitas terhadap kaum difabel tidak hanya sebatas payung hukum.
Tiba saatnya kaum difabel diakui dan dijamin hak-haknya. Sebagaimana 30 tahun
silam United Nations Declaration of the Rights of Disabled Persons (1975)
menyatakan:
"Kelompok difabel memiliki hak yang bersifat melekat
untuk dihormati martabatnya sebagai manusia." Yang dibutuhkan bukanlah belas
kasihan karena difabilitas dipandang sebagai "ketidaknormalan" atau
"kecacatan." Melainkan kesadaran menciptakan tatanan yang adil secara
bersama-sama. Sebuah tatanan yang memberikan jaminan dan pemenuhan terhadap hak
setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Secara umum setiap manusia memilki kepribadaian dan
personalitas yang unique, tidak terkecuali kaum difabel. Oleh karena itu kaum
difabel pun membutuhkan sarana prasarana untuk mengaktualisasikan dirinya. Salah
satunya adalah dengan cara menyalurkan bakatnya di bidang seni.
Penyandang Cacat Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial
"Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk
mengadakan usha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial
yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila"
Rumusan diatas menggambarkan Kesejahteraan Sosial sebagai
suatu keadaan di mana digambarkan secara ideal adalah suatu tatanan (tata
kehidupan) yang meliputi kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak
menempatkan satu aspek lebih penting dari yang lainnya, tetapi lebih mencoba
melihat pada upaya mendapatkan titik keseimbangan.
Titik keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan
antra aspek jasmaniah dan rohaniah, ataupun keseimbangan antara aspek material
dan spiritual. Penyandang cacat mempunyai peran yang sama dengan
warga negara lainnyya dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Melihat
undang-undang pemerintah No. 43 tahun 1998 meurpakan salah satu usaha yang
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang cacat. Oleh
karena itu peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan
penyandang cacat.
Pemerintah Daerah dengan kewenangannya akan terus
mendorong berbagai kekuatan masyarakat baik perorangan, kelompok maupun
Institusi supaya mengembangkan kepeduliannya. Jika selama ini kepeduliannya
sebatas menyantuni, maka ke depan diperluas dengan kepedulian dibidang yang lain
seperti: Pertama, turut aktif memasyarakatkan peraturan perundangan untuk
penyandang cacat terutama bagi kelompokmasyarakat yang potensial.
Dua, mendorong masyarakat pengusaha semakin terbuka
untuk menerima tenaga kerja penyandang cacat. Indonesia sebagai Negara yang
memiliki keramah tamahan yang tinggi, seharusnya juga ramah terhadap perbedaan
yang ada, khususnya terhadap kaum difabel. Istilah difabel merupakan
pengindonesiaan dari kependekan istilah different abilities people (orang
dengan kemampuan yang berbeda).
Dengan istilah difabel, masyarakat diajak untuk
merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau
tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap
difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan
aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.
Dengan pemahaman baru itu masyarakat diharapkan tidak
lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan
ketidakmampuan.Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya,
juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.
Sebenarnya kaum difabel dapat mandiri dan berprestasi
jika pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat mendukung. Sehingga semua jaminan
atas akses fasilitas terhadap kaum difabel tidak hanya sebatas payung hukum.
Tiba saatnya kaum difabel diakui dan dijamin hak-haknya. Sebagaimana 30 tahun
silam United Nations Declaration of the Rights of Disabled Persons (1975)
menyatakan:
"Kelompok difabel memiliki hak yang bersifat melekat
untuk dihormati martabatnya sebagai manusia." Yang dibutuhkan bukanlah belas
kasihan karena difabilitas dipandang sebagai "ketidaknormalan" atau
"kecacatan." Melainkan kesadaran menciptakan tatanan yang adil secara
bersama-sama. Sebuah tatanan yang memberikan jaminan dan pemenuhan terhadap hak
setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Secara umum setiap manusia memilki kepribadaian dan
personalitas yang unique, tidak terkecuali kaum difabel. Oleh karena itu kaum
difabel pun membutuhkan sarana prasarana untuk mengaktualisasikan dirinya. Salah
satunya adalah dengan cara menyalurkan bakatnya di bidang seni.
Tiga, melakukan kegiatan pembinaan atau pelatihan,
sehingga produktivitas kerja dan kredibilitas penyandang cacat semakin
berkualitas. Empat, menjadi penghubung atau mediator bagi
kepentingan penyandang cacat disatu pihak dan kepentingan diberbagai Institusi
dilain pihak.
Dengan demikian, diharapkan perluasan peran tidak
hanya pada unsur masyarakat, tetapi juga oleh instansi dan lembaga-lembaga
pemerintah menurut kapasitas, kewenangan dan kemampuan yang dapat diperbuatnya
untuk penyandang cacat.
Penyaluran Bakat Bidang Seni Bagi Kaum Difabel
Di Indonesia sendiri kebanyakan penyaluran bakat bagi
kaum difabel sudah masuk kedalam program rehabilitasi sosial. Tempat-tempat
penyaluran bakat bagi kaum difabel seharusnya banyak didirikan oleh pemerintah
untuk menampung bakat mereka, sehingga kehidupan mereka tidak terlantar dan
bergantung banyak kepada orang sekitarnya. Boleh dibilang tempat penyaluran
bakat yang khusus untuk menyalurkan bakat bagi kaum difabel di Indonesia masih
dibilang jarang.
Hal itu terbukti masih banyaknya kaum difabel yang susah
menyalurkan dan mengembangkan bakat potensial yang ada di dalam diri mereka.
Biasanya tempat-tempat yang dapat menampung mereka kebanyakan dari pihak swasta
atau LSM.
Salah satu tempat yang bisa menjadi ajang tempat
penyaluran bakat bagi kaum difabel adalah HIPSDI (Himpunan Pelaku Seni
Diferensia Indonesia). Perkumpulan ini dibentuk untuk menampung potensi dan
mengembangkan bakat dibidang seni orang-orang yang mengalami keterbatasan fisik.
Kata diferensia dipilih untuk mengantikan kata cacat yang bermakna negatif.
Kata cacat dianggap tidak layak lagi digunakan untuk
manusia. Selain itu, tidak selamanya penyandang kekurangan fisik juga kalah
dalam berkarya. Dalam deklarasi ini pencinta seni diferensia menolak
diperlakukan diskriminatif Sebagai kreasi pertama HIPSDI, sejumlah anggota akan
mengikuti festival penyandang cacat di Beijing, Cina pada pertengahan bulan
ini.
Pada umumnya para kaum difabel yang mempunyai bakat
terpendam di bidang seni diberikan motivasi dan pendekatan secara psikologis,
setelah dirinya merasa sudah memiliki rasa percaya diri barulah potensi yang ada
dalam diri mereka dikembangkan. Dari situlah bakat yang tadinya hanya sebatas
keinginan mereka dan impian mereka saja bisa dikembangkan sampai si penyandang
cacat tersebut sudah bisa dan mampu menyalurkan bakatnya dengan percaya diri.
Tidak sedikit hasil karya mereka membuat orang normal seperti kita merasa kagum
dan tidak percaya.
Dalam pemberian motivasi agar para penyandang cacat
tersebut tidak jenuh dan semangat, biasanya diselingi dengan permainan-permainan
yang membuat spontanitas mereka keluar. Pemberian motivasi biasanya dilakukan
secara berkelanjutan dan bertahap, agar mereka tidak kaget jika diberikan dalam
jumlah banyak dan dalam waktu singkat. Disini dukungan dan peran keluarga
sangatlah penting dalam pengembangan dan penyaluran bakat bagi para penyandang
cacat.
Biasanya para penyandang cacat bisa lebih terbuka dan mau
mendengarkan pengalaman atau nasihat-nasihat yang baik dari sesama penyandang
cacat juga. Hal itu disebabkan oleh pola pikir mereka yang merasa senasib
sependeritaan dengan keadaan yang mereka alami, dan itu terbukti efektif dalam
membantu penyandang cacat menghadapi keterbatasannya.